Asa Jokowi Kerek Ekonomi 7 Persen dan Berkah THR

Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaruh harap pada pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 sebagai titik balik perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat pandemi covid-19. Ia pun menargetkan pertumbuhan ekonomi periode April-Juni bisa mencapai di atas 7 persen.


“Hati-hati, di kuartal II tahun ini, berarti April, Mei, Juni ini sangat menentukan sekali pertumbuhan ekonomi kita bisa melompat naik atau tidak. Kalau tidak, kuartal berikutnya kita akan betul-betul sangat berat. Kita harus bisa meningkatkan, menaikkan paling tidak di atas 7 persen di kuartal II,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Kepala Daerah 2021, Rabu (14/4) malam.

Jokowi mengakui laju ekonomi di atas 7 persen merupakan target yang berat. Oleh sebab itu, ia meminta dukungan pada seluruh kepala daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota guna mencapai target tersebut.

Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2021 adalah masa Ramadan, Lebaran, hingga pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) baik bagi PNS maupun pekerja swasta.

Faktor tersebut diharapkan menjadi mesin pendorong melesatnya pertumbuhan ekonomi seperti harapan Jokowi. Namun, sejumlah pengamat menilai kucuran THR kurang bertaji mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 7 persen.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan daya dorong THR kepada konsumsi rumah tangga tidak akan signifikan. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) yakni 57,66 persen sepanjang 2020 lalu.

Pasalnya, ia memprediksi mayoritas masyarakat mengalokasikan dana THR untuk tambahan simpanan, alih-alih konsumsi saat Lebaran. Pertimbangannya, belum ada kepastian dalam perekonomian Indonesia lantaran pandemi covid-19 masih berlangsung.

“THR tidak terlalu mendorong (konsumsi) karena saya yakin sebagian besar bukan untuk untuk konsumsi tapi disimpan, karena mereka tahu dengan situasi sekarang, pandemi masih berlangsung sehingga belum ada kepastian kapan selesai,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (20/4).

Kondisi tersebut tidak terkecuali bagi PNS, TNI, dan Polri. Untuk golongan tersebut, penyebab konsumsi dari uang THR tidak maksimal adalah mereka masih menahan diri untuk belanja, mengunjungi saudara, maupun berwisata ketika Lebaran nanti karena khawatir terhadap penularan covid-19.

“Karena covid-19, konsumsi terbatas, tidak bisa mudik, wisata jauh tidak bisa, ke pusat belanja takut, karena masih relatif riskan,” jelasnya.

Terlebih, pemerintah telah melarang mudik Lebaran tahun ini, sehingga pengeluaran masyarakat selama mudik Lebaran pun berkurang. Tauhid memperkirakan potensi perputaran uang yang hilang akibat larangan mudik Lebaran 2021 mencapai Rp140 triliun-Rp150 triliun, atau tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya berdasarkan data Bank Indonesia (BI).

“Apalagi, sekarang kemungkinan akan lebih ketat, belajar dari tahun lalu sudah diperbaiki (pengawasan larangan mudik) tahun ini. Selain itu, sudah banyak yang mudik duluan, sehingga jelang hari H tidak banyak tambahan uang beredar,” jelasnya.

Tak ayal, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021 tidak mencapai 7 persen meski tumbuh positif. Selain faktor THR yang tidak mampu mengungkit konsumsi, ada tiga hal lain yang menguatkan prediksinya itu.

Pertama, daya beli masih rendah tercermin dari tingkat inflasi Maret 2021 yakni 0,08 persen secara bulanan dan 1,37 persen secara tahunan. Tren inflasi sejak awal tahun cenderung turun, yakni 0,26 persen di Januari, 0,10 persen di Februari 2021, dan kembali turun pada Maret kemarin.

Kedua, perputaran uang akan berkurang khususnya karena larangan mudik. Ketiga, pemulihan sektor riil belum banyak terjadi. Indikasinya, kata dia, permintaan kredit perbankan masih mengalami kontraksi minus 2,15 persen pada Februari yang menandakan belum ada peningkatan di sektor bisnis.

“Kalau dibandingkan kuartal II 2020 minus 5,32 persen, saya kira akan positif (di kuartal II 2021), tapi saya kurang begitu yakin sampai angka 7 persen, saya kira itu terlalu tinggi. Tetapi, kalau di bawah 5 persen relatif masih bisa tercapai karena dia akan membaik posisinya,” ujarnya.

Menurutnya, ada tiga ‘senjata’ untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertama, pemerintah harus mempercepat proyek padat karya, sehingga tercipta lapangan kerja bagi masyarakat yang ujungnya menambah pendapatan mereka.
Kedua, mempercepat realisasi penyaluran bantuan sosial (bansos) khususnya pada kelompok orang miskin. Idealnya lagi, kata dia, nominal bansos tersebut ditambah. Ketiga, hal yang paling utama adalah pengendalian pandemi covid-19, sehingga ekonomi bisa sepenuhnya pulih.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan pendapat serupa. Menurutnya, dampak THR pada konsumsi tidak signifikan lantaran masyarakat cenderung menahan diri untuk konsumsi.

“Masyarakat terutama yang kelas menengah ke bawah tidak akan langsung membelanjakan uangnya, karena takut ada kebutuhan-kebutuhan berikutnya setelah Lebaran,” jelasnya.

Serupa, pemberian THR kepada PNS, TNI, dan Polri diperkirakan tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen seperti harapan kepala negara. Apalagi jumlah ASN, TNI, dan Polri bukan golongan pekerja mayoritas.

“Di 2019 saja tidak ada pandemi, THR dan gaji ke-13, serta ada Pemilu di April tidak mampu dongkrak pertumbuhan ekonomi signfikan pada kuartal II 2019, apalagi setelah ada pandemi seperti saat ini,” terangnya.

Peluang Laju Ekonomi 7 Persen
Namun, berbeda dengan Tauhid ia meramal pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021 sebesar 7 persen bisa tercapai. Alasannya, perhitungan pertumbuhan ekonomi berangkat dari perbandingan yang rendah, yakni minus 5,32 persen di kuartal II 2020 lalu.

“Jadi, kalau kita lihat di kuartal II 2021 tumbuh 7 persen itu sangat normal, bukan sesuatu hal yang laur biasa. Malah, 7 persen ini terhitung target yang cukup moderat cenderung ke pesimis, saya rasa kalau mau optimal minimal 8 persen,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi China mampu meroket hingga 18,3 persen di kuartal I 2021. Sebab, periode yang sama tahun sebelumnya ekonomi Negeri Tirai Bambu itu kontraksi 6,8 persen akibat pandemi covid-19.

“Jadi, kalau secara teknis tidak terlalu sulit, tinggal bagaimana mempertahankan level 6 persen sampai akhir tahun, itu yang lebih sulit,” ujarnya.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi akan didorong oleh kebangkitan sejumlah sektor salah satunya sektor manufaktur. Tercatat, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Maret 2021 berada di level 53,2, naik dari Februari yang sebesar 50,9.

Peningkatan PMI manufaktur itu menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Selanjutnya, pemulihan sektor otomotif. Ini ditandai dengan oleh kenaikan penjualan ritel mobil sebesar 65,1 persen pada Maret lalu. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengatakan lonjakan penjualan ini juga dipengaruhi oleh pelonggaran Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang diberikan pemerintah pada Maret lalu.

“Biasanya tanda perbaikan dimulai dari sektor otomotif, properti, dan semen. Dari satu indikator yang paling signfikan yaitu industri mobil ini pertanda baik untuk memasuki 2021,” ucapnya.

Faktor lain yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah surplus neraca perdagangan sebesar US$1,57 miliar secara bulanan pada Maret 2021 kemarin. Hal yang cukup menggembirakan, kata dia, nilai ekspor tumbuh 20,31 persen secara bulanan menjadi US$18,35 miliar.

Apabila ditengok secara tahunan, pertumbuhannya lebih tinggi, yakni 30,47 persen. Fithra mengatakan kenaikan ekspor ini menunjukkan geliat industri manufaktur di Indonesia mulai pulih.