JAKARTA – Sudut-sudut Ibu Kota porak-poranda sejak beberapa pekan terakhir. Jalanan diblokade militer. Pasar dibakar. Pusat perbelanjaan dijarah. Gedung parlemen diduduki mahasiswa dan jelata.
Kematian empat orang mahasiswa Trisakti bak terompet kematian bagi Soeharto. Amarah publik yang terpendam selama 32 tahun akhirnya membuncah. Ratusan ribu orang mahasiswa turun ke jalan. Meski berasal dari kelompok berbeda, tujuan mereka cuma satu: menumbangkan Soeharto.
Walau begitu, kekacauan di Ibu Kota tak lebih semrawut dari benak Yusril Ihza Mahendra. Pikirannya kusut. Hatinya berkecamuk. Berulang kali ia membisiki Soeharto untuk mengundurkan diri. Namun, penguasa Orde Baru itu ngotot melanjutkan kepemimpinannya sebagai presiden.
Soeharto begitu yakin bisa lengser secara mulus dengan membentuk Komite Reformasi. Dia juga percaya diri bisa membentuk Kabinet Reformasi sebelum meninggalkan takhta.
Padahal, Komite Reformasi hampir mustahil terbentuk. Hanya 3 dari 45 orang tokoh masyarakat yang menerima ajakan Soeharto masuk komite itu.
Tersudut
Pada 20 Mei 1998, pagi hari, Yusril sudah tiba di rumah Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Sejak tekanan publik menguat, Soeharto memilih bekerja dari rumah ketimbang Istana.
Di Cendana, Yusril ditemani Mensesneg Saadillah Mursyid, Bambang Kesowo, dan Sunarto Sudarno. Mereka memutar otak mencari jalan keluar.
Buntu. Mereka lalu jeda sejenak. Yusril mampir ke rumah tokoh Muhammadiyah, Abdul Malik Fajar selepas Magrib. Ia menumpang makan dan berganti baju.
Saat makan, ia ditemui Akbar Tanjung dan Tanri Abeng. Kedua tokoh itu menyampaikan 14 menteri mengundurkan diri dari Kabinet Pembangunan ke-VII.
Akbar memberi sepucuk surat berisi pengunduran diri 14 menteri. Pikiran Yusril makin tak keruan. Tak ada jalan lain, Soeharto harus pamit.
Malam itu juga, Yusril kembali ke Cendana. Ia antarkan surat dari Akbar Tanjung dkk. Sang Jenderal kini tak punya jalan lain .
“Pak Harto bilang, ‘Kalau sudah begini, ya sudah enggak bisa. Ya sudah mundur saja. Kamu persiapkan bagaimana saya mundur,'” ucap Yusril menirukan Soeharto, Kamis (20/5).
Yusril dkk. mulai merumuskan skenario untuk mengakhiri jabatan Soeharto. Ada sejumlah opsi, tapi Yusril usul menggunakan Tap MPR Nomor VII/MPR/1973 sebagai landasan.
Menurutnya, cara terbaik mengakhiri Orde Baru adalah dengan pengunduran diri Soeharto. Dia merasa cara ini sederhana karena tak butuh persetujuan MPR/DPR.
Soeharto cuma perlu mengumumkan pengunduran diri. Lalu, B.J. Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden otomatis mengisi kepemimpinan negara.
Pada 21 Mei 1998, dini hari, Yusril menelepon Ketua Mahkamah Agung (MA) Sarwata bin Kertotenoyo. Ia meminta Sarwata hadir di Istana Presiden pada pagi hari pukul 07.00 WIB.
Yusril merahasiakan tujuan pemanggilan Sarwata ke Istana. Padahal, Sarwata dihadirkan untuk melantik Habibie sesaat usai Soeharto lengser.
“Pak Harto ingin bertemu,” ucap Yusril lewat telepon kepada Sarwata. Hakim itu pun tak bisa menolak karena Soeharto telah bertitah.