Banjir besar kembali menerjang Bekasi, salah satu wilayah yang paling parah terdampak bencana yang melanda Jakarta dan sekitarnya sejak Senin (3/3) malam. Luapan Kali Bekasi mulai melumpuhkan Kota Bekasi pada Selasa (4/3), merendam 20 titik di tujuh kecamatan.
Data pada Rabu (5/3) mencatat 22.856 KK terdampak, tersebar di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan. Kecamatan Jatiasih menjadi yang paling parah, dengan tujuh perumahan terdampak di area seluas 145,7 hektar.
Banjir kali ini terparah dibandingkan sebelumnya. Pada Januari 2020, ketinggian air mencapai 540 cm, sementara banjir 3 Maret 2025 ini melampaui angka tersebut, dengan ketinggian mencapai 680 hingga 700 cm. Menurut Puarman, Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas (KP2C), ini merupakan banjir yang jauh lebih besar dari yang terjadi pada 2016 dan 2020.
Penyebab banjir ini multifaktorial, mulai dari curah hujan tinggi, cuaca ekstrem akibat krisis iklim, hingga buruknya tata kelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi. Aktivitas pembangunan perumahan di sepanjang DAS Kali Bekasi mengakibatkan air tak dapat diserap dengan baik, menyebabkan limpasan air langsung mengalir ke sungai.
Iqbal Damanik dari Greenpeace Indonesia menyoroti berkurangnya luas hutan di DAS Kali Bekasi, yang hanya tersisa 2% dari total area. Idealnya, hutan di DAS seharusnya mencapai minimal 30% dari total luas wilayah.
Pada 2022, 42% dari DAS Kali Bekasi sudah digunakan untuk permukiman, meningkat drastis dari hanya 5,1% pada 1990. Iqbal mendesak pemerintah untuk meninjau kembali izin pembangunan di DAS Kali Bekasi, terutama bagi area yang masih dalam status Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU). Ia juga mengusulkan agar ruang terbuka hijau dikembalikan untuk mengurangi risiko banjir.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, banjir besar seperti ini akan terus terjadi, apalagi dengan adanya perubahan iklim. Sebagai solusi jangka pendek, Iqbal mengusulkan pengerukan Kali Bekasi, meski ia menekankan bahwa langkah ini tidak akan bertahan lama tanpa penanganan menyeluruh.
Puarman menegaskan bahwa penanganan banjir haruslah bersifat jangka panjang, bukan hanya reaktif dengan memberikan bantuan darurat seperti sembako. Komunitas KP2C yang beranggotakan 32 ribu orang mengajukan enam solusi konkret untuk mengatasi masalah banjir di Bekasi, dengan harapan dapat mencegah bencana serupa di masa depan.