Nostalgia Ramadan di Era Hindia Belanda

JAKARTA – Pemerintah kolonial Hindia Belanda boleh dibilang tak pernah serius ikut campur dalam ritual peribadatan masyarakat pribumi. Kepentingannya di nusantara semata-mata dagang dan cuan. Kompeni pun masa bodoh dengan gempita perayaan Ramadan maupun Idulfitri.
Kecuali satu hal: aktivitas keagamaan yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan mengusik ketertiban.

“Buat mereka adalah memastikan agar Islam hanya sibuk pada peribadatan, bukan hal-hal politis,” kata sejarawan JJ Rizal akhir pekan kemarin.

Haji misalnya, mulai menjadi perhatian tatkala pribumi membawa pemikiran baru dari Timur Tengah. Pemikiran yang dikhawatirkan Belanda membawa pemberontakan atau pembangkangan. Thomas Stamford Raffles dalam ‘The History of Java’, menyebut bahwa orang Jawa yang kembali dari Makkah begitu mudah menarik simpati. Maka, katanya, tak sulit bagi mereka mengobarkan pemberontakan.

Guna mengawasi kegiatan pribumi, kata Rizal, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken atau penasihat urusan pribumi. Namun Rizal menyebut fungsi lembaga itu lebih tepat disebut sebagai alat untuk melaksanakan ide politik Snouck Hurgronje: Penjinakan islam sebagai aspirasi politik.

Bedug Ramadan

Senada, Budayawan Betawi, Ridwan Saidi mengatakan Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken bahkan memegang otonomi menentukan awal Ramadan maupun Idulfitri.

“Dia yang menetapkan puasa kapan. Dia yang menetapkan lebaran kapan, dan dia itu mempunyai menara-menara untuk melihat bulan,” kata Ridwan.

Awal Ramadan pada masa kolonial ditandai dengan dentuman bedug yang saling bersambut, bukan dengan surat kabar atau radio. Cara menyambut Ramadan, kata Ridwan, tak ada yang berubah dari masa ke masa: penuh suka cita.

Namun kata dia, ada satu tradisi yang kini mulai hilang saat perayaan lebaran. Kala itu, kata dia, perayaan Idulfitri bukan hanya dilakukan dengan halal bihalal, bersalaman, atau saling memaafkan. Tradisi itu yakni merekap anggota keluarga yang telah hilang.

Sesama kerabat, keluarga, atau tetangga saling mengingat pihak keluarga yang telah wafat. Menurut Ridwan, tradisi itu akrab dilakukan oleh masyarakat pribumi di bawah pemerintah kolonial.

“Bukan sekadar saling memaafkan, mereka membuat rekapitulasi, siapa yang udah wafat dan sebagainya,” katanya.

Anak-anak dan kaleng rombeng

Ridwan juga mengingat bahwa libur sekolah saat Ramadan mulai diterapkan sejak sistem pendidikan modern masuk ke Hindia Belanda abad ke-20.

Sistem ini diterapkan pemerintah kolonial di bawah Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan yang kemudian berubah jadi Departemen Pendidikan dan Agama pada 1912. Pemerintah kolonial meliburkan semua sekolah binaan mereka mulai tingkat dasar (HIS) sampai tingkat menengah atas (HBS dan AMS) selama bulan puasa dan beberapa hari setelah lebaran.

Mahbub Djunaidi, dalam ‘Asal Usul: Catatan-catatan Pilihan’ (2017), mengenang sempat mengenang ucapan gurunya menjelang bulan puasa pada 1930-an.

“Sekarang boleh pulang, sampai ketemu habis lebaran,” kata Meneer van Dalen seperti dikutip Mahbub.

Mahbub juga menggambarkan bagaimana anak-anak menjalani hari-hari selama berpuasa. Sejak gelap, mereka membangunkan orang sahur dengan bebunyian kaleng rombeng. Siang hari mereka jumpalitan di pohon belimbing. Menjelang sore, anak-anak sekolah itu tidur di langgar, dan melahap semua isi perut bumi saat berbuka puasa.

Kebijakan libur sekolah selama Ramadan itu bertahan sampai pascakemerdekaan. Kelak, kebijakan itu kena gugat Daoed Joesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Soeharto pada 1978. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sempat kembali menerapkan kebijakan tersebut pada 1999.