Penetapan Batas HST–Kotabaru Dinilai Tak Akurat, Masuk Kajian Ahli Dunia

Kabarsiar, Hulu Sungai Tengah – Sengketa tapal batas Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dengan Kabupaten Kotabaru kembali menjadi sorotan setelah masuk dalam pembahasan forum internasional The 46th Asian Conference on Remote Sensing (ACRS) 2025 di Makassar, 27–31 Oktober 2025. Forum yang dihadiri peneliti dan ahli penginderaan jauh dari berbagai negara itu menyoroti ketidaksesuain penetapan batas tahun 2021.

Penelitian mengenai sengketa batas tersebut dipresentasikan oleh Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman HST, Dr. Ir. H. Sa’dianoor, yang juga pengurus MAPIN Kalsel. Ia memaparkan kajian berjudul Analisis Survei dan Wawancara Lapangan Terkait Penolakan Masyarakat Balai Adat Manggajaya Terhadap Kesepakatan Batas Administrasi Antara Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Kotabaru.

Sa’dianoor menjelaskan bahwa penelitian ini merupakan bagian dari komitmen Bupati HST Samsul Rizal dan Wakil Bupati H. Gusti Rosyadi Elmi dalam memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat Pegunungan Meratus. Kajian tersebut menggabungkan survei GPS, wawancara tokoh adat Meratus, analisis citra satelit multisumber, serta pendalaman sosial terkait akses dan hak masyarakat adat.

Ia mengungkapkan adanya ketidaktepatan deliniasi batas secara spasial, di mana penetapan batas tahun 2021 tidak didasarkan pada pelacakan lapangan yang memadai. Hasil kajian menunjukkan batas yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi topografi dan tidak berada di puncak perbukitan sebagaimana terlihat saat dibandingkan dengan data Digital Elevation Model dan geospasial lainnya. Selain itu, batas yang diputuskan tidak mengacu pada toponimi lokal sebagaimana dipersyaratkan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017.

Tim Penelusuran Batas Daerah (TPBD) HST diketahui telah melakukan pelacakan sejak 2005, termasuk pendataan toponimi yang dilengkapi koordinat dan dokumentasi lapangan. Data tersebut, menurut Sa’dianoor, lebih menggambarkan kondisi geografis dan sosial yang diakui masyarakat setempat.

Akibat penetapan batas 2021, HST kehilangan wilayah lebih dari 19 ribu hektare dan pembangunan infrastruktur vital, termasuk jalan penghubung antardesa dan akses sekolah, menjadi terancam karena sebagian wilayah masuk ke Kotabaru. Pemkab HST juga telah mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk memastikan pembangunan jalan di Pegunungan Meratus tetap dapat dilakukan.

Dalam paparannya, Sa’dianoor menegaskan bahwa penentuan batas wilayah bukan hanya persoalan teknis pemetaan, melainkan proses multidimensi yang harus melibatkan pemimpin adat serta mempertimbangkan klaim tradisional masyarakat. Ia juga menyampaikan sejumlah catatan reflektif mengenai pentingnya pemetaan kolaboratif, proses inklusif, pelibatan masyarakat adat, serta transparansi tata ruang.

Penelitian tersebut mendapat perhatian para ahli internasional yang menilai perlunya pelacakan lapangan yang lebih kuat dan keterlibatan pemimpin adat dalam kesepakatan batas untuk mencegah konflik dan memastikan keadilan spasial.

Berita Populer