Tokoh ekonomi neoliberal asal Amerika Serikat, Arthur B. Laffer, menyoroti sistem perpajakan di Indonesia. Dalam sebuah pertemuan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Laffer—yang dikenal sebagai mantan penasihat ekonomi Presiden Donald Trump—menyarankan agar Indonesia menerapkan flat tax, yaitu tarif pajak yang sama bagi semua golongan pendapatan, baik orang kaya maupun miskin.
Sri Mulyani membagikan pandangan Laffer tersebut dalam acara CNBC Economic Update 2025 yang digelar di Jakarta Pusat pada Rabu (18/6). Ia menyebut bahwa Laffer dikenal luas di Indonesia sebagai sosok utama dalam paham neoliberal.
“Beliau (Arthur Laffer) itu kalau di Indonesia terkenal disebut Neolib,” ujar Sri Mulyani. “Makanya tadi ketika beliau menyarankan flat tax, saya jelaskan bahwa di Indonesia kita punya lima lapisan tarif pajak (bracket).”
Sri Mulyani menegaskan bahwa ia tidak sependapat dengan usulan tersebut. Ia bahkan melempar pertanyaan kepada para peserta yang hadir.
“Kalau yang sangat kaya dengan yang pendapatannya hanya upah minimum regional (UMR), bayar pajaknya sama, setuju enggak?” tanyanya.
“Saya hampir yakin semua bilang tidak setuju. Tapi pandangan beliau tadi memang seperti itu—flat tax,” tambahnya.
Sri Mulyani kemudian menjelaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia dirancang berdasarkan asas keadilan dan distribusi. Saat ini, Indonesia menggunakan sistem tarif progresif dengan lima lapisan, yaitu:
- 5% untuk penghasilan hingga Rp60 juta per tahun
- 15% untuk penghasilan Rp60 juta–Rp250 juta
- 25% untuk penghasilan Rp250 juta–Rp500 juta
- 30% untuk penghasilan Rp500 juta–Rp5 miliar
- 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar
“Kami percaya bahwa orang yang berpenghasilan Rp60 juta per tahun seharusnya tidak membayar tarif pajak yang sama dengan mereka yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar. Ini soal keadilan,” tegasnya.
Sri Mulyani juga menekankan bahwa kebijakan pajak tidak bisa dilepaskan dari fungsi utama APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), yakni stabilisasi, distribusi, dan alokasi. Dalam kondisi ekonomi yang sedang melemah, katanya, pendapatan negara dari pajak memang cenderung turun karena banyak perusahaan yang merugi dan tidak membayar pajak. Namun, belanja negara tidak boleh ikut dipangkas secara otomatis.
“Kalau ekonomi melemah, penerimaan pajak pasti menurun. Tapi belanja negara tetap harus dijaga, misalnya untuk bansos, peningkatan kesejahteraan, dan infrastruktur seperti memperbaiki jalan rusak,” jelasnya.